viernes, 24 de junio de 2011

cerita dini hari

Muka tertekuk, baju lusuh setelah dua hari tidak mandi. Jam menunjukkan pukul 00.24 dini hari. Aku berdiri di depan rumah, mengetuk pintu perlahan memanggil ibu. Aku baru saja pulang dari tempat berkumpul dengan teman-temanku. Tadi aku pergi untuk mendaftar acara pendakian gunung gede pukul tiga sore. Dan ini pukul satu dini hari. Aku mendaratkan tepukan ringan di keningku. Bodoh, dini hari baru sampai rumah, berbuat apa saja aku tadi? Rasanya waktu tidak terlalu bersahabat denganku. Rasanya baru saja aku pergi dan matahari masih menyinari dengan angkuh. Sekarang, angin dingin merasuk sampai ulu hati. Perubahan waktu yang begitu cepat. Hai Tuan Waktu, bisakah kau memperlambat dirimu berjalan? Rasa-rasanya begitu singkat hingga aku baru pulang dini hari.

Aku berangkat dengan sekian batang rokok, uang lima belas ribu, dompet, dan telepon genggam. Begitu keluar rumah, aku langsung mencari tukang fotokopi. Aku menggandakan kartu pelajar untuk syarat mendaki gunung bulan depan. Kuarahkan tangan kananku untuk mengontrol gas, kaki kananku berjaga di atas rem, kaki kiriku untuk mengoper gigi. Kubawa lari kuda besi ini, namun ternyata ia haus, mampirlah aku ke tempat pengisian minum untuk si kuda tersayang. Selembar uang lima ribu aku serahkan kepada pramuniaga perempuan bertubuh indah dan berambut panjang. Wanita cantik, namun dandanannya sedikit kampung dengan make up tebal.Tidak usah diperpanjanglah, ini hanya perspektifku. Kuda besiku sudah minum, aku siap membawanya lari. Aku ingin bertemu teman-temanku, baik yang lebih tua maupun lebih muda. Pondok yang berisikan orang-orang dengan pemikirannya yang jauh dan indah. Entah mengapa di mataku ini indah, namun tidak seindah bila kau pandang dengan matamu. Mungkin bagimu, aku dan teman-temanku hanya orang-orang di perkumpulan yang tidak berguna. Mungkin memang kami tidak menunjukkan prestasi kami di depan khalayak, namun bukan berarti prestasi kami juga banyak. Tuhan tahu semuanya, aku tidak perlu berkoar-koar untuk hal yang tidak tentu. Hanya jalani saja hidup ini dengan santai dan semuanya akan santai.

Di tempat berukuran 2x4 meter yang berisi barang-barang keperluan sehari-hari aku merebahkan badan untuk istirahat sejenak, udara di luar sangat panas. Angin berhembus dari kipas angin kecil dan nampaknya sudah tua. Bentuknya kotak, tidak ada yang menarik dari sang kipas angin. Sudahlah, apa juga yang harus dipermasalahkan selama si kotak tua berwarna cokelat tersebut masih menghembuskan angin? Toh, aku tinggal menikmatinya. Karpet hijau menjadi alas tempat kami duduk. Kasihan si karpet hijau, ia sering terkena tumpahan kopi apabila salah satu diantara kami ceroboh. Ia juga sering merasakan panasnya bara rokok ketika si pengisap rokok ceroboh dan tidak sengaja membuang baranya ke atas permukaan karpet hijau. Aku mendudukkan diri di depan layar komputer tua milik seniorku. Kubakar satu batang rokok dan mulai mengobrak-abrik isi komputer, tidak ada yang menarik. Aku bosan. Temanku sedang memainkan laptop, dan rasanya sangat menarik. Namun kuputuskan untuk bermain gitar terlebih dahulu. Sudah puas aku melantur dengan lirik seingatku, kunci seingatku, dan kocokan gitar yang terlihat asal, aku mengambil alih posisi depan laptop. Aku memainkan permainan yang membuatku keranjingan belakangan ini. Permainan menyusun kata dari huruf-huruf berbahasa Inggris. Lumayan untuk menambah kosakata.

Tatkala aku sedang bermain, tiba-tiba salah seorang temanku berkata "hei, dicari masmu tuh". Aku tetap fokus kepada layar. "hei, itu masmu" ah, bicara apa orang ini? Masku? Oh iya tadi aku sudah mengatakan kepada masku, alias pacarku itu bahwa aku sedang di tongkrongan ini. Aku menekan tombol 'pause' pada game, dan menoleh ke belakang. Kudapati masku berdiri di depan pintu dan menaik-turunkan alisnya. Ekspresi yang mengatakan "hai sayang, aku di sini." Aku beranjak dari depan laptop dan menerjang ke arah masku. Aku rindu padanya, senang sekali bertemu hari ini. Yah, sebut saja namanya si mas. Nanti aku disuruh bayar royalti jika menggunakan namanya sembarangan. Mas mengambil gitar dan memainkannya. Sudah lama aku tidak memiliki pacar yang bisa bermain alat musik, yah tidak penting memang namun ini momen yang membuatku terkagum-kagum kepadanya. Seorang lelaki yang absurd dan tidak jelas apa yang dia pikirkan maupun lakukan. Aku juga tidak mengerti mengapa aku begitu menyayanginya dan takut kehilangan. Belum pernah aku merasakan ini sebelumnya. Perasaan yang begitu menyayangi dan takut kehilangan. Biasanya, aku cenderung cuek jika memiliki kekasih. Aku memberikan kebebasan untuknya. Dengan masku juga, aku dan dia tidak memiliki peraturan tetap nan ketat. Aku dan dia hanya saling percaya dan yah, beginilah kami. Rasa cemburu pasti ada, namun kami sama-sama menahannya dan menjaga perasaan masing-masing. Mungkin aku masih sering terlalu egois untuknya, namun aku mencoba untuk tidak mementingkan keinginan diri sendiri. Ia sering mengingatkanku tentang apapun yang sekiranya aku telah melewati batas. Dia tidak marah, dia hanya mengingatkan. Aku senang diingatkan, ternyata dia memperhatikanku. Kami melakukan hal-hal konyol bersama-sama, terkadang otakku tidak bisa dikendalikan dan berujung mendaratnya dorongan ringan dari samping kepalaku yang bersumber dari dalam tubuh si mas yang tersalurkan lewat tangannya yang kurus. Ingin aku memeluknya setiap lima menit sekali. Wah, aku jadi melantur terlalu banyak mengenai kehidupanku dan masku. Aku bersyukur diberikan kebahagiaan oleh Tuhan, dan dengan kebahagian tersebut aku bertahan hidup. Aku juga bersyukur jika diberi kesedihan, karena jika tidak diberi kesedihan maka kita tidak akan pernah merasakan apa itu senang. Selamat menjalani hidup, kawan-kawan. Tetaplah dengarkan kata hatimu dan jalani hidupmu dengan santai.


Ocehan sedikit tidak bermutu ini hanya mengalir dengan sendirinya dari tanganku, Olivia si anak absurd dan sulit dikendalikan. Selamat membaca, teman-teman.

No hay comentarios.:

Publicar un comentario

yang ngomentarin